Fiksi Mini: Memutuskan untuk Kembali
Ilustrasi gambar (Sumber: unsplash.com/@evelynparis) |
AKU dalam perjalanan menuju rumah yang sudah lama kutinggalkan selama bertahun-tahun. Karena kejadian itu, kami tidak berkomunikasi lagi. Bukan! Lebih tepatnya karena perkataanku yang membuat perasaan orang yang paling kusayangi dan paling kuhargai...terluka.
Sungguh, sebetulnya bukan ini yang kumau. Pada awalnya aku ragu, apakah kepulanganku ke rumah itu akan menimbulkan masalah baru? Apakah orang itu masih marah padaku? Aku takut, sungguh takut. Tidak sanggup hati ini menghadapi kebencian yang akan kuhadapi nanti. Tapi, seseorang pernah berkata padaku, "Kamu harus pulang. Dia sedang menunggu kamu. Dia udah enggak marah lagi sama kamu." Hanya berbekal keyakinan tersebut aku memberanikan diri untuk menjejakkan kaki ke rumah itu lagi.
Selain karena penasaran, sesungguhnya...aku juga merindukannya. Merindukan semua yang ada di sana, merindukan mereka semua, dan...merindukan dia. Seseorang yang telah membesarkanku dan telah lama kutinggalkan. Namun juga yang kuyakini masih membenci diriku. Membenci sikapku waktu itu.
***
Aku terus berjalan menyusuri pintu gerbang yang akan mengantarkanku menuju rumah itu. Sesekali tidak sengaja menginjak kubangan air yang membasahi sepatu pantofel hitam yang kukenakan. Ya, jalanan di sekitar sini memang habis diguyur hujan. Mungkin saat Subuh tadi. Sembari menghela napas, kukepalkan tangan ini untuk mengurangi rasa gugup.
Perjalanan menuju ke sini memakan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Begitu sampai di depan pintu rumah itu, tetap saja rasanya gugup. Ditambah hawa dingin di lingkungan sini yang membuatku semakin takut untuk menghadapinya. Takut akan ditolak. Apa lebih baik aku mundur saja?
***
Aku terus menunggu di depan pintu selama beberapa detik. Belum sempat diketuk, pintu rumah langsung terbuka dan coba tebak siapa orang pertama yang menyambutku? Dia.
Mata kami saling berpandangan kala berpapasan. Mengapa harus dia orang pertama yang kutemui? Rasanya semakin gugup ketika berhadapan dengannya. "Masuk dulu. Di luar dingin," katanya padaku. Kuperhatikan reaksinya juga terlihat sama gugupnya dengan diriku. Apakah dia sudah tidak marah lagi?
Kami berdua menyusuri area dalam rumah menuju sebuah ruangan. Dapur tepatnya. Tidak disangka, rupanya hanya kami berdua yang ada di sini. Lalu dia mempersilakan aku untuk duduk di meja makan. Banyak sekali makanan yang dihidangkan di atas meja dan sepertinya baru matang.
Dada terasa sesak ketika bertemu langsung dengannya, hingga tak sadar membuatku menangis. Menangis karena merindukannya dan menangis...karena tidak menyangka dia tetap mau menerima kehadiranku. Meski dulu aku sudah berkata kasar, bahkan bersikap jahat terhadapnya. Dia mulai memeluk diriku dan berkata, "Ibu sudah lama memaafkan dirimu, Nak." Dan pagi itu, aku menangis sejadinya. Meski aku ini adalah anak lelaki.
Pertemuan antara ibu dan putranya yang tak bersua selama 5 tahun tetap terasa begitu emosional. Tentunya ini akan menjadi momen paling tidak terlupakan di dalam hidupku. Semoga saja setelah hari ini, hubungan kami semakin membaik dan kesalahan yang dulu tidak terulang kembali.[]
Komentar
Posting Komentar