Fiksi Mini: Satu Hal yang Terlupakan

Ilustrasi gambar (Sumber: unsplash.com/Annie Spratt)


TERKADANG, saking sibuknya dengan kegiatan sehari-hari dan pemikiran sendiri, kita suka lupa dengan hal-hal kecil yang (mungkin) kelihatannya sepele tapi kenyataannya sangat penting dalam hidup kita. Dan ini terjadi dalam hidupku.

Hari itu aku sudah menyiapkan sejumlah jawaban yang akan ditanyakan pada interview nanti. Bahkan jawaban untuk pertanyaan yang belum bisa kukuasai pun sudah disiapkan. Semuanya berkat riset yang kulakukan secara daring sejak beberapa hari lalu. Dengan persiapan ini–saat itu–aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa lolos kali ini. Tinggal didukung dengan doa sekencang-kencangnya juga dukungan dari orang-orang sekitar terutama keluarga, baik secara moral maupun finansial. Aku tidak ingin mengecewakan harapan mereka.

***

HARI H wawancara pun tiba, dan aku sudah memperkirakan bahwa pasti banyak yang kualitasnya lebih baik dariku. Jujur, hal ini sempat membuatku minder. Tapi karena sedang butuh pekerjaan yang bisa membantuku menunjang pertumbuhan karier, aku berusaha memfokuskan diri bahwa aku pasti bisa melewati hal ini. “Pasti aku bisa, pasti aku bisa!”

Sayangnya, begitu sudah praktik langsung, ternyata rasa gugup itu masih menyelimuti diri. Aku berusaha untuk menguasai diri agar kembali normal. Namun.. aku kalah. Aku hanya bisa menyampaikan sepatah dua patah kata dari jawaban yang sudah kusiapkan. Dan pada akhirnya jawaban yang kusampaikan diartikan berbeda dengan jawaban yang sudah disiapkan tersebut.

Dari kejadian ini, aku baru sadar ternyata ada satu lagi kekuranganku yang tidak kucantumkan ke dalam draft jawaban di buku tulis. Yaitu penyakit gugup. Benar, rasa gugup ini seringkali menghalangiku dalam berkomunikasi terutama jika jarang keluar rumah dan bersosialisasi (dalam arti ngobrol secara langsung dengan orang lain). Bukan karena aku anti sosial, hanya saja.. kurasa lebih baik aku fokus dulu dengan pencarian pekerjaan ini. Komunikasi secara langsung bisa dilatih lagi seiring berjalannya waktu. Yang kedua, mental. Aku kurang menyiapkan mental untuk persiapan interview ini. Sekali pun sejumlah riset daring sudah dilakukan, jika mental kita kurang siap tentunya akan berakhir dengan planga-plongo doang.

Ada baiknya aku belajar melatih diri lagi supaya mental ini semakin siap dan sekali pun tidak bisa ngobrol secara langsung, paling tidak jika ada kesempatan ikut webinar mungkin perlu menyalakan kamera dan mic agar semakin terlatih. Sedangkan untuk riset yang sudah dilakukan, aku harus selalu ingat bahwa ini adalah progress. Meski pun cuma 1%. Jangan pernah sesali apa pun dan jangan pernah menyerah dalam mengejar cita-cita.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melalui Still Alice, Kita Diajarkan untuk...

Review C-Movie: Lost and Love (2015)

Malas